THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Selasa, 20 April 2010

Benarkah Pria dan Wanita Telah Sama?

Tuhan menciptakan pria dan wanita dengan keunikannya masing-masing. Di dalam alkitab, wanita (hawa) dibentuk dari tulang rusuk (Adam). Dalam perkembangannya, setiap negara ataupun kelompok-kelompok budaya mempunyai norma dan pandangan tersendiri terhadap wanita. Namun, meskipun demikian wanita memiliki nasib/keadaan yang sama yaitu dalam tatanan kehidupan wanita menduduki posisi sekunder dibanding pria.

Di India, agar tidak membebani orang tua, para gadis kecil telah dijodohkan oleh orang tua mereka. hal ini dimaksudkan agar para wanita menjadi tanggungan sang mertua. Di pedalaman suku Dani, semua tanggung jawab rumah tangga termasuk biaya kebutuhan sehari-hari ditanggung oleh para wanita yang bekerja dengan mengolah kebun. Parahnya, meskipun sang istri hamil, mereka tetap dipaksa bekerja agar setiap hari ada makanan di hanoi mereka. Para pria suku Dani dianggap pelindung dan penjaga yang akan pergi berperang melawan suku lain yang mengganggu suku mereka.

Perlakuan tidak seimbang ini tampak pula dalam bahasa. Banyak bahasa yang membedakan cara pengucapan untuk wanita dan pria. Umumnya para wanita menggunakan bahasa yang lebih halus dan sopan. Di samping ragam bahasa yang berbeda yang dikaitkan dengan status sosial mereka dalam masyarakat, wanita juga mendapat perlakuan yang tidak adil dalam bahasa itu sendiri. Bahkan dalam bahasa internasional, bahasa Inggris, perbedaan perlakuan terhadap wanita cukup mewakili kekuasaan pria. Contohnya kata father dan mother. Father seringkali dikaitkan dengan kekuasaan sehingga terdapat ungkapan seperti "the father modern science" dan "the father of our revolution". Kata man dan woman sendiri memiliki perbedaan perlakuan. Tidak peduli apakah pelakunya pria ataupun wanita, orang yang mengantar pos disebut postman, orang yang menawarkan barang salesman, orang yang memimpin jurusan chairman, dll.

Di Indonesia kelihatannya wanita mengalami nasib yang serupa dalam bahasa-bahasa kita. Tidak mungkin seseorang bertanya "sudah punya putri berapa?", karena mereka akan bertanya "sudah punya putra berapa?". Dalam budaya jawa, seorang istri wajib memakai bahasa sopan atau krama kepada suami. Peranan sekunder dari wanita tampaknya meresap pula ke semantik dan sintaksis bahasa nasional, karena faktor sosial budaya, seorang wanita tidak dibenarkan untuk berperang aktif, khususnya dalam hal perkawinan. Betapapun tingginya martabat wanita, seorang ibu pasti sering dipanggil dengan nama suaminya. Dalam dunia kebusanaan, wanita banyak memakai pakaian pria (jas, celana), namun pria akan ditertawakan jika memakai rok. Seolah-olah busana pria menaikkan martabat wanita dan busana wanita menurunkan martabat pria.

Jadi benarkah pria dan wanita telah sama? di sini wanita tidak boleh memungkiri kodratnya sebagai seorang wanita yang bertugas ngayomi pria. Sejak perjuangan ibu Kartini untuk memperjuangkan hak wanita, nasib wanita menjadi perhatian dan keadaannya lebih bebas. Namun bukan berarti wanita mendominasi, namun memiliki hak-hak yang sama dengan pria. Karena setiap orang diciptakan dengan tugasnya masing-masing. Begitu juga wanita dan pria memiliki tugas masing-masing.

0 komentar: